3. Tidak Keluar dari tempat I’tikaf Kecuali Karena Kepentingan Yang Sangat Mendesak.
Dan ini yang nampak dari ucapan Aisyah – radhiallahu anha – :
السنة على المعتكف : أن لا يعود مريضا , ولا يشهد جنازة , و لا يمس امرأة , و لا يباشرها , و لا يخرج لحاجة إلا لما لا بد منه
Artinya : “Disunnahkan atas orang yang beri’tikaf untuk tidak menjenguk orang sakit , tidak menghadiri sholat jenazah , tidak menggauli istri , tidak mencumbuinya , tidak keluar kecuali untuk kebutuhan yang mendesak yang harus ditunaikan .
Dan ucapan Aisyah – radhiallahu anha – : “Sunnah…” , dihukumi marfu’ kepada Nabi – shallallahu alaihi wa sallam – . Dan inilah yang ditunjukkan oleh perbuatan beliau – shallallahu alaihi wa sallam – .Sesungguhnya beliau – shallallahu alaihi wa sallam – menjulurkan kepalanya kepada Aisyah – radhiallahu anha – yang berada di kamarnya , sedangkan tubuh beliau di masjid , maka Aisyah menyisir rambut beliau .
Dan dari Ummul Mukminin Aisyah – radhiallahu anha – , beliau berkata :
إن كان رسول الله – صلى الله عليه و سلم – ليدخل رأسه وهو في المسجد فأرجِّله , و كان لا يدخل البيت إلا لحاجة إذا كان معتكفا
Artinya : “Jika Rasulullah – shallallahu alaihi wa sallam – memasukkan kepalanya , dan beliau berada di masjid , aku pun menyisir beliau , dan beliau tidak memasuki rumah kecuali karena suatu kebutuhan , jika beliau sedang beri’tikaf .[1]
Imam Bukhari telah membuat bab dalam masalah ini :(Bab : Tidak Memasuki Rumah Kecuali Karena Suatu Kebutuhan) .
Dan telah shohih dari Nabi – shallallahu alaihi wa sallam – bahwasanya beliau keluar dari tempat I’tikafnya untuk mengantar salah satu istrinya ke rumahnya , maka ini termasuk kepentingan yang mendesak , yang membolehkan orang yang beri’tikaf untuk menunaikan kepentingan tersebut .
Dan dari Ummul Mukminin Shofiyyah – radhiallahu anha – :
أنها أتت النبي – صلى الله عليه و سلم – وهو معتكف , فلما رجعت مشى معها , فأبصره رجل من الأنصار , فلما أبصره دعاه , فقال : تعال , هي صفية , فإن الشيطان يجري من ابن آدم مجرى الدم
Artinya : “Bahwasanya dia mendatangi Nabi – shallallahu alaihi wa sallam – , sedang beliau beri’tikaf , maka ketika Shofiyyah pulang , beliau berjalan bersamanya , kemudian seorang laki-laki dari anshor melihat beliau , maka ketika orang tersebut melihatnya , Rasulullah memanggilnya , dan berkata : “Kemarilah ,dia adalah Shofiyyah , karena sesungguhnya syaithon berjalan di tubuh bani Adam melalui aliran darahnya ” .[2]
Disini ada permasalahan penting : yaitu hukum keluar dari tempat i’tikaf untuk bekerja , mencari nafkah , dan mencari rizki , terlebih lagi para pegawai , apakah hal ini boleh bagi mereka ?
Jawabannya : Telah shohih penukilannya dari sekelompok salaf , bahwasanya tidak boleh bagi seorang yang beri’tikaf untuk menjual dan membeli , berdebat dengan seseorang , atau keluar tanpa kepentingan yang mendesak seperti buang air , atau untuk mengantar istri jika dikhawatirkan ada bahaya di jalan , atau untuk sholat jumat , dan selainnya , ini berdasarkan pendapat sekelompok salaf .
Dalam Mushonnaf Abdurrazzaq (3/361) dengan sanad yang shohih dari Zuhri , dia berkata :Seorang yang beri’tikaf tidak boleh menjual dan tidak boleh membeli .
Dan di dalam Mushonnaf juga terdapat riwayat dari Mujahid dan Amr bin Dinar dengan sanad-sanad yang shohih .begitu juga diriwayatkan dengan sanad yang shohih dari Atho’bin Abi Rabah ,dia berkata : “Seseorang yang beri’tikaf tidak boleh menjual , tidak boleh membeli , tidak boleh keluar menuju penguasa sehingga dia mengadu kepadanya, kecuali dia telah berniat untuk itu .
Dan dalam sebuah riwayat dari Atho’ , bahwasanya dia membolehkan seorang yang beri’tikaf untuk berwasiat kepada keluarganya tentang perbuatan dan maslahat kehidupan mereka , dan juga diperbolehkan untuk mencatat kebutuhannya .
Dan sebagian salaf membolehkan keluar , atas dasar apabila hal ini dia syaratkan ketika beri’tikaf , seperti dia mensyaratkan ketika beri’tikaf untuk berbuka bersama keluarganya , dan sahur bersama mereka , ini adalah pendapat Qotadah dan selainnya
Ibnu Abi Syaibah telah meriwayatkan dari Qotadah dengan sanad yang shohih (2/336) .
Dan dari ibnu abi syaibah dengan sanad yang shohih juga, bahwa Ya’la bin Umayyah berkata kepada muridnya: “Marilah kita pergi ke masjid , kemudian kita beri’tikaf di sana selama 1 (satu) jam .
Adapun Atho’ bin Abi Rabah , dia berkata : “Ini bukanlah i’tikaf” . Ibnu Abi Syaibah telah meriwayatkan atsar atho’ bin abi rabah ini, dan inilah pendapat yang diperkuat oleh dalil-dalil.
Dan yang lebih utama , bagi orang yang berniat untuk beri’tikaf dan bertekad bulat untuknya , untuk menjauhkan dirinya dari kesibukan-kesibukan dunia , dan mencurahkan hatinya untuk beribadah , dan melaksanakan ketaatan dengan sesuatu yang menyibukkannya dari ketaatan
Sumber Bahan :
- Kutaib Fiqhul I’tikaf – Syaikh Amr Abdul Mun’im Salim
[1] .Hadits shohih , diriwayatkan oleh sekelompok ulama , dan hadits ini terdapat dalam Shohih Bukhari 2/66.
[2] .Hadits shohih , dikeluarkan oleh Bukhari 1/347 , Muslim 4/1712 , Abu Dawud no hadits 2470 , Ibnu Majah no hadits 1779 , dari jalan : Zuhri , dari Ali bin Al Husain , dari Shofiyyah bihi.