Pensyariatan I’tikaf
I’tikaf merupakan sunnah dari sunnah-sunnah yang dianjurkan, adalah Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam -, selalu mengerjakannya(I’tikaf) hingga akhir hayat beliau.Sebagaimana yang telah disebutkan dalam hadits Ummul Mukminin Aisyah – radhiallahu anha – :
أن النبي – صلى الله عليه و سلم – كان يعتكف العشر الأواخر من رمضان حتى قبضه الله .
Artinya : “Bahwasanya Nabi – shallallahu’ alaihi wa sallam – beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir pada bulan ramadhan hingga Allah mewafatkan beliau”.[1]
Dalil disyariatkannya i’tikaf adalah firman Allah –subhanahu wata’ala-,
و لا تباشروهن و أنتم عاكفون في المساجد (البقرة : 187).
Artinya : Dan janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid. (Q.S Al Baqarah ; 187).
Kapan Dibolehkannya Beri’tikaf?
I’tikaf boleh dilakukan sepanjang tahun dan tidak dikhususkan pada bulan ramadhan saja, walaupun memang pada 10 (sepuluh) malam terakhir bulan ramadhan sangat dianjurkan dari yang lainnya, berdasarkan contoh dari Nabi – shallallahu alaihi wa sallam – sebagaimana telah berlalu penyebutannya pada hadits Aisyah – radhiallahu anha -.
Dari Abdullah bin Umar – radhiallahu anhu -, beliau berkata :
كان رسول الله – صلى الله عليه و سلم – يعتكف العشر الأواخر من رمضان .
Artinya : “Adalah Rasulullah – shallallahu alaihi wa sallam – beri’tikaf pada sepuluh malam terakhir bulan ramadhan.[2]
[1] Hadits shohih dikeluarkan oleh Bukhari 1/344, Muslim 2/831, Abu Dawud no hadits 2462 dari jalan Aqil bin Kholid, dari Zuhri, dari Urwah, dari Aisyah – radhiallahu anha -.
[2] .Hadits shohih dikeluarkan oleh Bukhari 2/65, Muslim 2/830, Abu Dawud no hadits 2465, Ibnu Majah no hadits 1773 dari jalan Yunus bin Yazid, dari Nafi’, dari Ibnu Umar – Radhiallahu anhu – ).